← Back to Blog

Suasana 2010: Ketika Internet Masih Jadi Barang Mewah

Tahun 2010, internet belum segampang sekarang. Ponsel pintar sih sudah ada, tapi nggak semua orang punya. Android masih baru, iPhone belum jadi barang umum, dan kalau pun ada HP yang bisa internetan, ya browsing-nya lambat, gambarnya kecil, dan kuota mahal.

Suasana warnet klasik tahun 2010

Buat anak sekolah seperti saya waktu itu, pilihan paling masuk akal untuk online adalah warnet—warung internet. Tempat itu punya aroma khas: campuran pendingin ruangan seadanya, karpet yang sedikit lembab, dan suara kipas angin CPU yang menderu. Monitor masih tabung besar (CRT), keyboard-nya kadang hurufnya sudah pudar, dan mouse sering kali dilapisi debu tipis. Tapi di mata saya, warnet adalah gerbang menuju dunia yang lebih luas dari buku pelajaran atau televisi.

Tarifnya sekitar Rp3.000 sampai Rp4.000 per jam. Kedengarannya murah, tapi buat saya itu hasil menabung beberapa hari. Jadi setiap kali datang ke warnet, saya sudah bawa “misi” khusus—nggak mau buang-buang waktu.

Langkah Pertama: Dari Rasa Penasaran ke Rasa Takjub

Hari itu, saya memberanikan diri datang ke warnet dekat sekolah. Operatornya, seorang mas-mas berkaos hitam, bertanya singkat, “Berapa jam?” Saya jawab, “Satu jam, Mas,” sambil menyerahkan uang pas. Dia menulis nomor komputer di kertas kecil.

Saya duduk di kursi plastik, menatap layar monitor tabung. Di desktop ada ikon Internet Explorer dan Mozilla Firefox. Entah kenapa, saya pilih Mozilla—mungkin karena logonya keren. Begitu halaman Google terbuka, rasanya seperti menemukan pintu ajaib.

Pencarian pertama saya? “Cara membuat akun Facebook.” Teman-teman sekolah saya sudah punya, dan mereka sering ngomongin “wall,” “poke,” atau “update status” seperti kode rahasia. Dalam beberapa menit, saya sudah punya akun sendiri, lengkap dengan foto profil yang diambil dari kamera digital keluarga. Rasanya seperti punya identitas baru—bukan cuma sebagai siswa di sekolah, tapi juga sebagai “warga” dunia maya.

Kejutan Teknologi di Masa Itu

Internet 2010 itu unik. YouTube sudah ada, tapi video sering di-set di kualitas 240p atau 360p supaya nggak buffering kelamaan. Facebook masih simpel, belum seribet sekarang. Twitter mulai ramai, tapi masih dianggap platform “orang keren.” Dan yang paling seru: Google Maps.

Saya ingat jelas momen ketika pertama kali mengetik “New York City” di Google Maps. Saya “berjalan” di antara gedung-gedung tinggi lewat Street View. Rasanya nggak masuk akal—saya duduk di kursi warnet kecil di Indonesia, tapi mata saya sedang melihat jalanan Manhattan. Saat itu, saya mulai sadar: dunia ini jauh lebih besar daripada yang saya bayangkan.

Wikipedia juga jadi tempat favorit. Saya bisa membaca hal-hal yang sebelumnya cuma saya dengar sekilas. Dari sejarah Nintendo, cara kerja satelit, sampai fakta aneh tentang hewan laut. Setiap klik adalah petualangan baru.

Perasaan yang Sulit Dijelaskan

Jujur, waktu itu saya campur aduk. Ada rasa takjub, kagum, tapi juga sedikit “overwhelmed.” Dunia maya itu seperti hutan rimba informasi—saya bisa tersesat kapan saja, tapi setiap tersesat justru menemukan hal-hal baru yang tak terduga.

Saya mulai menyadari bahwa internet bukan cuma hiburan. Dia adalah perpustakaan raksasa, pasar global, dan ruang ngobrol internasional, semua dalam satu layar.

Dampak ke Kehidupan Pribadi dan Sosial

Sejak kenal internet, cara saya berinteraksi berubah. Dulu kalau mau tahu sesuatu, saya harus tanya guru, baca buku, atau dengar dari teman. Sekarang, saya bisa cari sendiri. Kalau nggak ngerti pelajaran, tinggal buka Google. Kalau mau tahu tren musik, tinggal buka YouTube.

Secara sosial, Facebook membuat saya terhubung dengan teman lama yang pindah sekolah, bahkan dengan saudara jauh yang belum pernah saya temui langsung. Dari situ, lingkaran sosial saya melebar. Saya juga mulai berani ngobrol dengan orang asing di forum-forum online, yang akhirnya bikin kemampuan bahasa Inggris saya lumayan meningkat.

Tantangan dan Kesadaran Baru

Tentu saja, internet juga mengenalkan saya pada sisi lain: informasi yang salah, gosip, bahkan komentar negatif. Tapi di sinilah saya belajar bahwa di dunia maya, kita harus pintar memilah dan memilih. Bukan semua yang ada di sana benar, dan nggak semua orang di sana punya niat baik.

Pelajaran itu penting. Dan anehnya, saya merasa pelajaran itu datang lebih cepat daripada kalau saya hanya mengandalkan dunia nyata. Internet memaksa saya belajar berpikir kritis dan mengatur waktu—karena kalau nggak, bisa-bisa satu jam di warnet terasa seperti lima menit.

Refleksi: Betapa Beruntungnya Kita

Sekarang, saat internet ada di saku dan bisa diakses kapan saja, saya sering teringat kembali ke tahun 2010 itu. Ada rasa syukur pernah mengalami masa di mana internet masih terasa “spesial,” bukan hal yang taken for granted.

Di tahun itu, setiap menit online adalah pengalaman baru. Setiap loading bar yang pelan justru membangun rasa penasaran. Dan setiap klik membawa kejutan yang membuat saya ingin kembali lagi.

Mungkin itu yang membuat pengalaman pertama di internet sangat berkesan. Bukan hanya karena teknologinya, tapi karena cara saya memandangnya: sebagai jendela ke dunia yang lebih luas, penuh kemungkinan.

Penutup: Mengajak Merenung

Kalau kamu juga pernah mengalami masa awal internet, coba ingat-ingat lagi momen itu. Apa yang kamu rasakan saat pertama kali online? Apa yang kamu cari? Siapa yang pertama kali kamu hubungi?

Karena menurut saya, mengenang masa itu bukan sekadar nostalgia. Itu juga pengingat bahwa rasa takjub, rasa penasaran, dan keinginan untuk belajar adalah bahan bakar yang membuat kita tumbuh—baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Dan buat saya, semuanya dimulai di sebuah warnet kecil di tahun 2010, di kursi plastik yang agak goyang, di depan layar monitor tabung yang berkedip, ketika saya pertama kali mengetik sesuatu di Google dan sadar… ternyata dunia ada di ujung jari saya.